Sejak awal Masehi, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak saat itu sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.
Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.
Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, dan kemudian dijual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang di Sumatra (Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa).
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7
M (abad I H). Rute-rute tersebut yang kemudian disebut Jalur Rempah.
Jalur Rempah adalah rute nenek moyang kita bangsa Indonesia menjalin hubungan antarpulau, suku, bangsa, dengan membawa rempah sebagai nilai untuk membangun persahabatan yang membentuk asimilasi budaya dan diplomasi di setiap pesinggahan.
Masa puncak jalur rempah pun tercapai sejak kemunculan Islam dan kebangkitan Dinasti Umaiyah dan Abbasiyah. Mereka ini membangkitkan perdagangan melewati jalur rempah pada masa pra-Islam.
Sejak abad 7 dan 8 M, para pelayar dan pedagang Muslim dari Arabia berlayar ke pelabuhan/ibukota Sriwijaya untuk membeli rempah-rempah. Sembari berdagang, orang-orang ini juga membawa nilai dan kepercayaan mereka ke Nusantara.
Mereka menyiarkan agama dan mengundang setiap orang untuk menganut ajarannya. Penyiaran inilah yang berperan terhadap bangkitnya berbagai kerajaan berbasis agama tertentu, termasuk di antaranya kerajaan atau kesultanan Islam.
Penyebaran Islam di Indonesia tidak lepas dari peran pedagang. Dalam perkembangannya, mereka membentuk jaringan-jaringan intelektual yang membuat Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara.
Mengutip kronik Tome Pires, persebaran Islam dilakukan oleh pedagang Bengal dan Gujarat sebagai kontingen utama, yang diikuti pedagang Arab, Turki, dan Persia.
Mereka berkontribusi dalam membuat Nusantara menjadi bagian dari jaringan dagang antara Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara.
Dalam jaringan inilah, Islam perlahan-lahan mulai tumbuh dengan subur di kalangan rakyat Nusantara. Para pedagang Islam tidak hanya berdagang, tetapi mereka juga berdakwah dan bersosialisasi dengan rakyat setempat. Beberapa dari mereka bahkan berasimilasi dengan mengadopsi bahasa dan budaya lokal, serta menikahi perempuan Nusantara.
Seiring waktu, keberadaan pedagang-pedagang muslim ini menjadi lumrah dan sering dijumpai sehari-hari, terutama di kota-kota pelabuhan Nusantara.
Hal ini yang kemudian menumbuhkan paham Islamic habitus, yakni bagaimana nilai-nilai dan kebudayaan Islam menjadi bagian dari keseharian kehidupan lokal.