Hutang-piutang. Keharaman Riba telah disepakati para ulama secara ijma dan riba merupakan dosa besar sehingga orang yang melakukan praktik riba akan diperangi oleh Allah SWT serta mendapat laknat Rasulullah SAW.
Namun sayangnya, praktek riba telah menjamur di masyarakat bahkan mustahil bagi kita untuk menuntaskan praktek ribawi secara tuntas.
Riba menjadi sebuah kata yang begitu akrab di telinga kita sehari- hari. Terutama bagi orang Islam tentu riba merupakan kata yang cukup familiar dan yang pasti berarti buruk.
Namun, pada nyatanya hingga kini ada banyak sekali jenis riba yang meliputi kalangan masyarakat mulai dari dalam bentuk pinjaman modal, jual beli barang, jasa dan lain sebagainya.
Berikut ini kami sampaikan bentuk-bentuk riba dalam transaksi online yang dikutip dari berbagai sumber.
- Kartu kredit
Sebagaimana kita ketahui kartu kredit adalah kartu yang digunakan untuk melakukan pembayaran dengan pinjaman utang dari penerbit kartu, kemudian dilunasi di kemudian hari.
Biasanya penerbit kartu adalah bank, dan biasanya ada bunga yang dikenakan atas pinjaman yang telah dilakukan oleh pemegang kartu. Maka jelas di sini ada tambahan dalam transaksi utang-piutang, sehingga termasuk riba.
Demikian juga kartu kredit yang mempromosikan bunga 0% namun pemegang kartu akan dikenai denda jika melunasi hutang lewat dari batas waktu tertentu.
Dimana denda ini pada hakikatnya juga termasuk tambahan dalam transaksi utang-piutang, sehingga termasuk riba.
Para ulama dalam Majma’ Fiqhil Islami dalam muktamar ke-12 di Riyadh, pada tanggal 25 Jumadal Akhirah 1421H merilis ketetapan tentang hukum kartu kredit.
Ketetapan tersebut tercantum pada ketetapan nomor 108, yang di dalamnya menjelaskan,
“Pertama, tidak boleh menerbitkan kartu kredit dan tidak boleh menggunakannya, jika dipersyaratkan adanya tambahan riba. Walaupun pemegang kartu kredit berkomitmen untuk melunasi hutang pada jangka waktu tertentu yang bunganya 0%.
Kedua, dibolehkan menerbitkan kartu kredit jika tidak mengandung ketentuan adanya tambahan ribawi terhadap pokok hutang.”
- Pinjaman online (pinjol)
Di masa-masa belakangan ini semakin merebak adanya layanan pinjaman online (pinjol) di negeri kita. Menawarkan pinjaman dengan proses yang cepat hanya bermodalkan handphone dan foto KTP.
Uang ratusan dan jutaan rupiah pun sudah di tangan. Namun jelas di sana ada bunganya. Bahkan bunga besar dan mencekik. Andaikan bunga pinjaman ini kecil, tetap termasuk riba yang diharamkan dalam agama. Apalagi jika bunganya besar.
Ulama sepakat tidak ada khilafiyah di antara mereka bahwa bunga dalam hutang-piutang adalah riba. Ibnu Munzir Rahimahullah mengatakan,
أَجْمَعَ كُلُّ مِنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى إبْطَالِ الْقِرَاضِ إذَا شَرَطَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا لِنَفْسِهِ دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً
“Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad hutang, jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya menambahkan sejumlah dirham tertentu” (Al Mughni, 5: 28).
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabia menegaskan, “Bunga yang diambil bank dari para penghutang, dan bunga yang diberikan kepada para nasabah wadi’ah (tabungan) di bank, maka semua bunga ini termasuk riba yang telah valid keharamannya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta, juz 13, no. 3197, hal. 349).
- Diskon karena simpan saldo
Dr. Erwandi Tarmizi Hafizhahullah dalam buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (hal. 279 – 281) menjelaskan bahwa saldo digital seperti OVO, DANA, Gopay, Shopeepay, dan semisalnya, hakikatnya adalah transaksi hutang-piutang.
Artinya, ketika nasabah melakukan deposit saldo, hakikatnya nasabah sedang memberikan hutang kepada provider layanan.
Bukan akad wadi’ah (penitipan). Karena dalam akad wadi’ah, orang yang dititipkan tidak boleh menggunakan barang titipan tanpa izin dari pemiliknya.
Sedangkan sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan pembayaran digital menggunakan saldo yang terkumpul untuk investasi dan semisalnya.
Ketika yang terjadi adalah transaksi hutang-piutang, maka tidak boleh ada manfaat tambahan yang diberikan kepada nasabah, seperti cashback, diskon, hadiah dan semisalnya.
Karena adanya manfaat tambahan tersebut, membuat ia menjadi transaksi riba. Sebagaimana riwayat dari Abu Burdah, ia berkata,
يْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا
كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
“Suatu hari saya datang di kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba, jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak. Jangan Anda mengambilnya karena itu riba’” (HR. Bukhari no. 3814).
Para ulama dalam Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Akad top-up Gopay adalah akad hutang seperti deposit uang di bank. Maka diskon harga bagi konsumen adalah manfaat yang didapatkan dari menghutangi dan ini adalah riba. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dan kaidah baku dalam muamalah, “Semua hutang yang menghasilkan manfaat maka itu adalah riba.” Artinya, diskon Gopay adalah riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 3).
Namun boleh saja menggunakan saldo digital selama tidak ada manfaat tambahan seperti cashback, diskon, hadiah, dan semisalnya.
Karena pada prinsipnya, boleh saja melakukan transaksi hutang-piutang selama tidak ada tambahan riba.
Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Hukum memakai Gopay pada asalnya adalah halal, asalkan tidak memakai atau mendapatkan potongan harga maupun manfaat tambahan lainnya, karena hal itulah yang menjadikannya riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 4).
- Jual-beli emas secara online
Jika pembaca sekalian telah memahami hadis yang telah disebutkan di atas, disebutkan di sana “Emas dengan emas, perak dengan perak … kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (serah terima langsung)” (HR. Muslim no. 1584).
Maka jual-beli emas disyaratkan harus serah terima barang secara langsung, tidak boleh ada penundaan. Jika terjadi penundaan maka terjadi riba nasi’ah. Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ketika ditanya tentang jual-beli emas melalui telepon, mereka menjawab,
هذا العقد لا يجوز أيضا؛ لتأخر قبض العوضين عنه، الثمن والمثمن، وهما معا من الذهب أو أحدهما من الذهب والآخر من الفضة، أو ما يقوم مقامهما من الورق النقدي، وذلك يسمى بربا النسأ، وهو محرم، وإنما يستأنف البيع عند حضور الثمن بما يتفقان عليه من الثمن وقت العقد يدا بيد.
“Akad yang seperti ini tidak diperbolehkan juga. Karena adanya penundaan qabdh (serah-terima), antara dua barang yang ditukarkan, antara tsaman dengan tsaman. Sedangkan barang yang dipertukarkan adalah sama-sama emas atau salah satunya emas dan yang lainnya perak, atau juga barang-barang yang menempati posisi keduanya seperti uang kertas dan logam. Ini dinamakan riba nasi’ah, dan ini haram hukumnya. Solusinya, akad jual-belinya diulang kembali ketika menyerahkan pembayaran nominal harga yang telah disepakati dan barang diserah-terimakan secara langsung di majelis akad ketika itu” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 13: 475).